Monday, August 18, 2014

I am a Proud Big Sister


Tulisan berikut adalah kisah perjalanan adik saya, yang ditulisnya di laman facebook note. Membuat saya teramat bangga sekaligus terharu. He such a great brother, and I am officially a proud big sister.

Pada puncak kehamilan saya kemarin, bahkan sampai due date melahirkan Gendhis, dia menjadi "si adik baik hati" yang rela saya suruh suruh *nyengir* . Mulai dari beliin bubur kacang ijo madura, beliin ketoprak, anterin naik motor kesana kemari, ambilin ini itu, daaaaan masih banyak lagi. Masih inget cerita saya yang ini kaaaaan? Sewaktu masuk ruang observasi, Iyan sama Mama masih nemenin sambil bawa nasi uduk. Hehehe, saya pun sempet ditinggal Mama sebentar buat antar Iyan ke Bandara karena dia sudah harus kembali ke Mesir. Sayang banget yah, padahal malam-nya Gendhis sudah lahir loh. Jadi sampai sekarang, Gendhis belum pernah bertemu muka sama Om Iyan. Eh... pernah deng ketemu online via Skype hihihi. 

Silakan baca tulisannya yang sengaja saya copy (without his notice... yeah rite, I am a stalker hahaha). Truly inspiring :) 


Perjalanan Menuju Imtiyaz di Universitas Al-Azhar


by: Izdiyan Muttaqin

Perjalanan ini menarik... 

Tulisan ini ditulis dengan rasa cinta dan sayang terhadap adik-adik kelas di Al-Azhar baik yang ada di Mesir atau pun yang masih di Indonesia, bahkan yang belum lahir. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kalian, dan untuk siapa pun yang membutuhkan informasi ini.Saya akan berusaha untuk memberikan sebuah gambaran yang insya Allah dan mudah-mudahan bisa anda terima sebagai sebuah pencerahan. Saya adalah seorang biasa, lahir dengan kemampuan otak yang biasa saja. Di SD saya tidak terlalu menonjol, bahkan saya beberapa kali tidak mendapat ranking di kelas. Prestasi terbaik saya adalah ketika saya berhasil mendapatkan ranking2 dari 40 siswa 3 kali berturut-turut ketika kelas 2 SD. Hal tersebut menurut saya bisa terjadi karena pada tahun itu ibu saya tercinta berjanji akan menghadiahkan saya komik dragon ball jika saya bisa mendapatkan ranking yang bagus. Dan prestasi saya turun di tahun-tahun berikutnya karena mungkin saya tidak mendapatkan janji dibelikan komik lagi dari orang tua, nampaknya keinginan untuk meraih imbalan adalah dorongan yang kuat bagi manusia untuk mengejar targetnya, hal ini berlaku bagi anak kecil dan orang dewasa.

Selanjutnya ketika di tsanawiyah saya sempat mendapatkan ranking di kelas satu, ranking 7 atau 8 kalau kalau tidak salah. Namun ternyata di kelas 2 nilai saya anjlok drastis, saya tidak masuk 10 besar. Sejak saat itu karena malu luar biasa, karena saat itu bagi saya keluar dari peringkat 10 besar adalah berarti bergabung dengan kalangan otak menengah ke bawah. Sebagai anak umur 14 tahun yang otaknya mulai tumbuh dewasa, saya pun berfikir keras bagaimana caranya agar saya bisa dapat ranking lagi... Singkat cerita saya mendapatkan buku quantum learning dari rak buku ibu saya. Buku ini mengulas tentang cara belajar yang efektif. Bukunya bergambar dan cukup ringan. Hal paling utama yang bisa saya ambil dari buku itu adalah tentang teori "modeling". 

Teori ini mengatakan bahwa ketika kita mendapatkan model yang cocok untuk dijadikan panutan dalam belajar, kemudian kita mengikuti gaya belajarnya, mengikuti gaya tidurnya, pola makannya, cara berfikirnya, dll. Maka percaya atau tidak, kita akan mendapatkan nilai akademis yang sama dengan panutan kita tersebut. Terdengar simpel bagi saya ketika itu. Saya pun langsung menjadikan kawan saya, Putri Nilam Kencana sebagai panutan saya ketika itu. Putri adalah pelajar dengan prestasi terbaik di sekolah kami, namanya tidak pernah bergeser dari posisi pertama sejak sd dulu, kalau di tk ada ranking rasa-rasanya dia juga bakal kokoh di ranking satu. Saya pun mulai belajar dari putri. Saya meniru pola belajarnya. Dan ternyata rahasianya hanyalah: belajar sebelum ada ujian atau ulangan, dan belajar nonstop ketika ulangan umum. Sejak saya mempraktekan pola belajar ini nilai saya melonjak cukup drastis. Bahkan dalam beberapa ulangan nilai saya dan Putri adalah yang tertinggi. Aneh memang saya pikir, ternyata demikian simpelnya, dan sejak saat itu saya sedikit banyak merasa lebih percaya diri. Singkat cerita saya lulus tsanawiyah pembangunan dengan nilai evaluasi murni UN tertinggi kedua di angkatan, saya sedikit lebih baik dari putri.

Saat berada di gontor, saya ikut program akselerasi yang biasa disebut eksperimen atau intensif atau taktsifi, materi kelas 1-4 dijadikan hanya 2 tahun, selanjutnya lompat ke kelas 5 dan enam. Tahun pertama cukup berat bagi saya karena saya memang baru pertama kali merasakan pendidikan berbahasa arab di kelas, di asrama dan di ujian. Ketika kelas 1 intensif semester 1 nilai saya cukup lumayan karena pelajarannya masih berbahasa indonesia, di semester 2 saya benar-benar kuwalahan. Saya menjadi ketua kamar, kena marah, dihukum, diberikan tugas-tugas. Sementara di kelas saya tidak paham pelajaran, saya seperti orang buta huruf yang tidak bisa memahami buku pelajaran. Saat ingin belajar saya mendapatkan dorongan dalam hati yang sangat kuat untuk menutup buku karena saya tidak paham buku itu apa maksudnya. 

Hingga tibalah hari-hari ujian tengah semester. Yang saya ingat saat itu saya merasa ingin menangis. Saya tidak paham tapi saya harus lulus. Saya harus naik kelas. Akhirnya saya teringat kata-kata wali kelas saya tercinta ust. Ikhwan Mahmudi, "kuncinya ada di bahasa". Ya untuk bisa sukses di gontor saya harus punya kunci itu. Akhirnya saya membuka kamus kecil karya Mahmud Yunus berwarna hijau yang jarang saya buka itu. Saya memaksa diri. Saya cari satu per satu kata-kata di buku yang saya tidak paham, dan hampir semua kata saya tidak paham. Tidak terhitung berapa jam saya habiskan untuk membaca dan mengartikan buku-buku pelajaran kata demi kata. Di kelas, di asrama, di aula pertemuan, di masjid. Tekad saya adalah agar kamus hijau ini hancur karena terlalu sering dipakai dan ketika itu saya sudah tidak memerlukannya lagi karena saya sudah menguasai kata-kata penting di kamus tersebut. Dan sedikit demi sedikit kamus itu mulai rusak. Kertas-kertasnya berdesakan keluar dari jilidan. Kosa kata-kosa kata penting mulai saya kuasai. Dan saat itulah saya sakit cukup keras. Kuping saya sakit, ada daging yang harus dicabut dengan cara operasi. Ibu saya datang dari ciputat ke Gontor. Saya akhirnya bisa disembuhkan dan ujian bisa saya ikuti dengan cukup baik. 

Dari kelas 1xB (kelas B adalah kelas unggulan di gontor), saya naik ke kelas 3xB. Perjuangan menguasai kosa kata terus berlanjut, hingga saya duduk di kelas 6B. Sebelum menghadapi ujian akhir, saya mendapatkan ilmu baru tentang peta pikiran. Sebuah konsep ringkasan yang menyatukan semua judul dan pembagian-pembagian yang ada di buku dalam sebuah pohon pikiran. Ilmu ini begitu kuat pengaruhnya. Belajar dengan menggunakan peta pikiran membuat otak saya lebih ringan dan kemampuan menghafal saya meningkat drastis. Ujian kelas 6 di gontor adalah yang paling berat karena pelajaran-pelajaran selama 6 tahun diujikan dalam satu kali ujian. Dalam satu ujian rata-rata ada 3-6 buku yang harus dikuasai. Ujian kami murni dari gontor. Tidak ada kisi-kisi, tidak ada try out, tidak nyontek. Hukuman bagi yang menyontek di Gontor adalah diskors 1 tahun, saya tidak pernah menyontek seumur hidup saya di gontor. Untuk menghadapi ujian akhir kami terbiasa tidak makan Pagi, dan tidak mandi pagi, waktu kami terlalu berharga untuk itu. 

Hal penting yang selalu saya lakukan sebelum ujian adalah membuat jadwal belajar. Jadwal yang saya buat selalu full. Saya tidak memasukkan tidur siang dalam jadwal saya, keluar ruang ujian saya sudah terbiasa untuk tidak tidur dan langsung membaca pelajaran berikutnya, kecuali jika sebelumnya saya belum tidur sama sekali. Dan alhamdulillah saya bisa lulus dengan nilai mumtaz, dan berkesempatan mengajar satu tahun di Gontor 9 Kalianda, lampung selatan. Di usia 19 saya diberi kesempatan mengajar siswa setingkat SMP dan SMA. Kecuali kelas 1 semua dengan Bahasa Arab dan Inggris, saya juga diberi kesempatan menjadi wali kelas dan pengawas bahasa di pondok tersebut. Sungguh pengalaman yang berharga yang membuat saya lebih percaya diri menghadapi hidup. 

Selanjutnya saya tiba di Kairo dengan niat untuk kuliah di Universitas al-Azhar. Kami terlambat, saat itu ujian masuk telah ditutup. Saya pun belum bisa kuliah, sempat menganggur, mengikuti dauroh tahfiz, berorganisasi di senat fakultas bahasa arab milik orang indonesia, dan mengikuti pelatihan bahasa di al-azhar selama sekitar 3 bulan, setelah itu saya mengikuti ujian masuk Alazhar dan lulus dengan nilai yang cukup baik (seingat saya jayyid).

Kemudian saya mulai masuk kuliah di jurusan sejarah peradaban fakultas bahasa arab. Saya dikejutkan dengan beberapa pelajaran di jurusan saya yang penuh dengan kosa kata kontemporer ditambah dengan dosen yang menggunakan bahasa arab berlogat mesir, mungkin anda pun mengalami hal sama yang saya sebut sebagai clash of civilization. Namun sedikit demi sedikit saya mulai terbiasa.

Saat tingkat satu dahulu saya sempat berdiskusi dengan salah seorang senior saya di jurusan sejarah, dari diskusi tersebut saya menjadi tahu bahwa di jurusan sejarah tidak ada sama sekali yang mendapatkan nilai mumtaz. Sebagai alumni gontor yang sempat merasakan mumtaz dan menggebu-gebu untuk mumtaz lagi, saya berubah pikiran, target mumtaz saya pun saya simpan di lemari. Ditambah kenyataan bahwa dari 7 orang tingkat 1 di jurusan saya yang tahun kemarin 5 diantaranya tidak lulus ujian kenaikan tingkat. Hal itu ditambah lagi dengan fakta bahwa dari 4 orang kawan serumah, seluruhnya tidak lulus ujian. Saya pun ketakutan kalau-kalau saya tidak naik tingkat. Ditambah lagi sebuah ultimatum dari ibu saya bahwa saya tidak boleh menikah sampai lulus S1. Inilah motivasi terbesar saya, saya harus segera lulus, agar bisa mendapatkan izin menikah dari orang tua saya. Dorongan seksual dan cinta menurut Napoleon Hill adalah emosi yang paling kuat dalam diri manusia. Dan ketika seorang manusia menggunakan dua dorongan ini untuk mendapatkan target yang diinginkannya, potensi maksimalnya akan muncul. 

Maka saya melakukam apa pun yang saya bisa untuk sekedar bisa lulus ujian kenaikan tingkat. Walaupun saya sempat bolos kuliah satu bulan karena mengikuti dauroh tahfiz, namun setelah itu saya hampir sama sekali tidak pernah absen kuliah. Saya catat semua yang bisa saya tangkap dan saya anggap penting. Setiap ada kata-kata aneh yang diucapkan dosen dan saya tidak paham, saya segera bertanya kepada kawan-kawan orang mesir yang dengan senang hati menjelaskan maknanya dengan bahasa yang lebih mudah saya pahami. Saya menghadiri semua seminar tentang bagaimana cara mendapatkan nilai bagus yang diadakan oleh organisasi-organisasi yang ada di kalangan Mahasiswa Indonesia di Mesir. Saya menginterview langsung seorang senior alumni gontor yang pernah mendapatkan nilai jayyid jiddan. Dan hal paling penting dari pesan beliau adalah: kuasai dan hafalkan muqoror, dengan seluruh kata-katanya. Pesan itu mengagetkan saya. Saya belajar di Gontor dengan hanya mengandalkan pemahaman tanpa mengahafal isi buku kata perkata. Dalam buku born to be genius saya mendapat informasi bahwa otak kita memang didisain sulit untuk menghafal hal-hal yang berbentuk tulisan, dan otak kita mampu menghafal sangat cepat bila yang dihafal berbentuk gambar. 

Saya pun menggabungkan cara berfikir senior saya tadi dengan ilmu peta pikiran saya. Hasilnya saya pun berusaha untuk membuat peta pikiran detail untuk menghafal pelajaran-pelajaran yang sulit dihafal. Untuk pelajaran-pelajaran seperti sejarah eropa dan sejarah kuno, saya membuat peta pikiran untuk seluruh judul yang ada di buku itu. Melelahkan! Namun itu lebih baik bagi saya daripada harus gagal dalam ujian. Semua kata pun saya cari sampai dapat apa artinya. Kamus munjid yang tebalnya sekitar 20-30 cm itu menemani saya di pojokan kamar. Koneksi internet yang cukup kencang membuat saya juga leluasa mencari arti kata-kata sulit tersebut di google. 

Dan tanpa diduga saya lulus ujian tingkat satu dengan nilai jayyid jiddan. Nilai itu adalah yang tertinggi di jurusan kami. Seingat saya saat itu jumlah mahasiswa jurusan sejarah sebanyak 100-200 orang. Orang mesir sendiri paling tinggi hanya mendapatkan nilai jayyid. Saya benar-benar kaget. Saya benar-benar tidak berniat untuk mendapatkan nilai jayyid jiddan, saya hanya berharap agar lolos ujian kenaikan, dan Allah menghadiahkan saya nilai tertinggi di jurusan saya. Dengan nilai itu saya dengan relatif cukup mudah lolos seleksi untuk mendapatkan beasiswa bayt zakat kuwait. Uang jajan bertambah sekitar 480 pon sebulan, kalau saya tetap naik tingkat setiap tahun, saya juga berhak mendapatkan tiket pulang. Saya juga mendapatkan bantuan dana dari kbri sebanyak 300 pon saat hari wisuda Mahasiswa Indonesia di Mesir. 

Di tingkat dua saya terpilih menjadi salah satu ketua ikpm (ikatan keluarga pondok modern). Saya harus pindah ke rumah sekretariat ikpm, dan mengurusi rumah tangga dan kepengurusan ikpm yang menurut saya memang cukup memakan energi dan emosi. Namun saya mendapatkan banyak sekali pelajaran dari pengalaman setahun di ikpm. Mendapat banyak sekali kenalan baru, dan tentu saja mengasah skill komunikasi saya yang masih sangat kaku. Namun efek sampingnya tahfiz dan kuliah saya sedikit banyak terkesampingkan. Nilai saya di tingkat dua: jayyid. Saat itu saya merasa bahwa daya ingat saya menurun drastis. Namun sekarang saya menyadari bahwa belajar saya saat itu lebih sulit karena saya sangat jarang kuliah, di sisi lain saya tidak lagi ketakutan tidak lulus ujian karena kenyatannya tahun sebelumnya saya lulus dengan nilai jayyid jiddan. 

Di tahun ketiga saya pulang ke indonesia. Saya mengahabiskan sekitar 4 bulan di indonesia. saya magang bekerja di tempat Om-Om saya, Om Busro dan Om Dodo. Saya bolos kuliah 2 bulan lebih. Saya tiba di kairo pada bulan desember. Saya sempat mengikuti kuliah selama 2 minggu. Selebihnya saya habis-habisan membaca buku siang malam. Saya kali ini takut tidak naik tingkat. Pada semester dua tingkat tiga saya rajin kuliah, namun di tengah perjalanan, saya diminta tolong oleh ketua ppmi (persatuan pelajarnya mesir) untuk menjadi ketua panitia simposium dan pagelaran seni pelajar Asean di mesir. Saya pun bolos kuliah demi mensukseskan acara tersebut sekitar 2-3 minggu. 

Dalam mengahadapi ujian di tingkat tiga saya mendapatkan metode baru yang cukup mujarab. Selain membuat peta pikiran untuk setiap pelajaran saya juga menghitung jumlah paragraf di setiap judul. Saya menghafal jumlah tersebut dan berusaha menghafalnya dengan mengingat gambaran penting di setiap paragraf. Dengan metode ini, jika saya sudah berhasil menghafal hal-hal penting dalam setiap paragraf di setiap judul, saya bisa menerangkan isi buku dengan cukup jelas tanpa kesulitan, semudah menyebutkan 1,2,3, dst. Di ujian tingkat 3 saya sekali kembali mendapat nilai jayyid jiddan. 

Di tingkat empat saya pindah dari flat kontrakan ke asrama milik wamy (world assembly of muslim youth) yang berpusat di Saudi Arabia. Saya pindah karena ajakan kawan dekat saya di jurusan sejarah, dan karena saya merasa kurang cocok lagi dengan rumah yang lama, terutama dalam masalah pengeluaran, karena sejak desember 2013, kiriman dari rumah mulai dikurangi, sehingga dengan hanya bermodal beasiswa sebesar 480 pon cukup sulit bagi saya untuk menutup pengeluaran-pengeluaran di flat kontrakan. Dengan tinggal di asrama pengeluaran saya lebih berkurang, dan gaya hidup saya pun tidak terlalu berubah. 

Walaupun di tingkat empat ini saya diminta tolong untuk menjadi penanggung jawab kajian tafahum center, sekjen diaspora mesir, dan pemred majalah ilmiah ppmi himmah, alhamdulillah semua itu bisa saya jalani tanpa harus bolos kuliah. Dua bulan sebelum ujian saya pun menstop seluruh aktifitas selain belajar. Dan saya pun mulai fokus menguasai diktat kuliah. Saya cukup terkejut ketika awal-awal saya fokus belajar di asrama. Saya bisa belajar dengan sangat tenang. Sebelumnya Saya terbiasa sejak tingkat satu dulu untuk belajar di flat yang cukup ramai, atau mengungsi di masjid saat waktu shalat. Selain itu, hal yang membuat belajar di asrama begitu efektif adalah karena di asrama saya tidak perlu masak. Untuk sarapan cukup dengan 4 potong roti, di siang dan malam hari kita mendapatkan makanan dari asrama. Dengan metode belajar yang sama dengan sebelumnya, saya bisa membaca muqoror dengan jauh lebih cepat, persiapan dalam menghafal pun jauh lebih matang. Oh iya untuk materi alquran saya selalu menyediakan waktu untuk murojaah minimal satu juz setiap pagi (saya sudah hafal 4 juz sejak di indonesia ditambah kegiatan tahfiz sebelum kuliah). Dan sebelum masuk ujian alquran saya pun menuliskan hafalan saya yang akan diujikan di kertas kosong, sebagai sarana latihan menulis. Karena materi alquran adalah materi yang saya targetkan untuk mumtaz setiap tahun. Dan alhamdulillah, beberapa hari yang lalu saya mengecek nilai, dan saya mendapat nilai mumtaz, Alhamdulillahirobbilalamin, saya kaget luar biasa, karena sebelumnya kata petugas administrasi nilai saya jayyid jiddan, dan ternyata nilai tersebut adalah yang terbaik di jurusan kami, nilai terbaik setelah saya diraih oleh 3 kawan orang mesir yang mendapatkan nilai jayyid jiddan. Allah memang tidak menyia-nyiakan usaha hambanya, innallaha laa yudh'iu ajro almu'minin


No comments:

Post a Comment